Memandang alam dari atas bukit…
Sejauh mata kulepaskan…
Sungai tampak berliku…
Sawah luas terbentang…
Bagai permadani di kaki langit…
Gunung menjulang…
Berpayung awan…
Oh indah pemandangan…
Oh indah pemandangan…
Ingat dengan teks lagu anak – anak yang dinyanyikan oleh tasya itu? Dalam perjalanan menuju tempat wisata, itu adalah salah satu lagu yang aku dan beberapa teman menyanyikannya bersama.... wujud kegembiraan kami yang tak terkira. Selepas raat kerja 3 hari di Kota Gudeg Jogja yang benar – benar melelahkan.
Bus pariwisata menuju candi termegah di negri ini. Candi Borobudur yang terletak di kota Magelang, Jawa Tengah berada diantara lereng gunung merapi, gunung semeru dan gunung merbabu. Hari itu H-2 diadakannya perayaan waisak. Candi borobudur memang tempat beribadah ummat Budha. Seperti tahun – tahun yang lalu, perayaan waisak kali ini dipusatkan di candi Borobudur. Berbagai persiapan tampak dilakukan oleh ummat Budha sekitar, mulai dari membersihkan candi, memasang tenda untuk peserta perayaan hingga umbul – umbul dari janur kuning yang mulai menghias sepanjang jalan menuju candi.
Kami masih beruntung, sebab masih bisa memasuki wilayah Candi Borobudur dengan bus yang bisa diparkir di lahan parkir sekitar candi. Sebab, mulai H-1 sampai dengan acara perayaannya, tidak boleh ada kendaraan umum wisata yang diparkirkan disini. Tetapi mesti jauh dijalan utama menuju candi ini, yaa lumayanlah 2-3 km.
Lepas dari sisi religiusnya. Tapi aku benar – benar takjub dengan kecerdasan nenek moyang bangsa Indonesia yang mampu membuat candi semegah dan seartistik ini. Zaman dulu khan buat bangunan ndak pake 3D Max dulu biar bisa memvisualisasikan gedung yang akan dibangun, ndak perlu buat maket dulu, dsbnya.
Sepulang dari perjalanan wisata tersebut, aku sempatkan untuk bersilaturrahim ke rumah nenek dan saudara – saudaraku di kota Madiun. Kota kecil yang tidak seberapa jauh dari Yogjakarta. Perjalanan ku tempuh dengan menggunakan bus kota. Bus melaju dengan kecepatan tinggi, mengantarkan aku tiba di kota tujuan hanya berkisar +/- 3 jam. Di terminal bus, Mas eko kakak sepupuku telah menungguku dan siap mengantarkan aku ke rumah nenek. Meski posisi rumahnya padat hampir serupa Jakarta, tetapi rumah – rumah penduduk disini memiliki halaman yang cukup luas. Dan lalu lintas jalan raya yang tidak seramai Jogja.
Pagi beranjak tiba. Satu keinginanku setibanya disini adalah berjalan - jalan diantara hamparan sawah. Hmm..udara yang segar. Pemandangan yang indah. Cuaca cerah. Jauh dari hiruk pikuk kota. Kesederhanaan yang aku temukan. Kedamaian yang menjanjikan. Aku sangat menikmatinya. Selalu dan selalu aku terpana, takjub dengan segala ayat kauniy-Nya. Rasanya tak mau aku beranjak pergi. Segala penat, segala sedih, segala masalah terlupakan sejenak.
Hmm..sepertinya aku tergoda. Dan memang tergoda. Meski kuyakin aku bukan satu – satunya yang tergoda. Ya. Tergoda untuk tinggal disini, langgeng dengan kedamaian yang aku definisikan sendiri. Ini adalah godaan orang – orang yang mempunyai latar belakang sosial geografis sepertiku. Lahir, besar dan hidup di kota metropolitan Jakarta. Maka tak heran jika setiap akhir pekan atau liburan banyak warga Jakarta yang berlibur ke tempat – tempat wisata yang pada umumnya menjanjikan naturalisme, ketenangan dan kecantikan alam.
Dan sebaliknya, kemegahan dan gemerlap kota Jakarta atau kota lainnya juga begitu menarik teman – teman yang tinggal di luar kota tersebut. Maka tak heran jika pemerintah era Soeharto dahulu juga memprogramkan transmigrasi sebagai pengimbang gerak populasi kota dan desa. (entah murni atau politis)
Kufikir..sebenarnya apakah yang kita cari? Kenapa orang kota senang ke desa dan orang desa ingin ke kota? Pastilah kebahagiaan yang ingin dicari. Jika kebahagian dan kedamaian hidup kita definisikan dengan kepemilikan harta, secara logik memang keberadaan sumber daya alam, tenaga, dana, dsbnya adalah faktor ekonomi pendukungnya. Tetapi jika itu adalah aku, bukankah aku ditakdirkan hidup dikota yang sudah mendukung aku untuk mendapatkan kebahagiaan dari sisi duniawinya itu? Dan bagaimana dengan kebahagiaan bathin itu? Hmm, disinilah aku akhirnya bisa menyimpulkan.
Bahwa kebahagiaan, kedamaian, ketenangan itu pada hakikatnya adalah saat kita dengan Allah. Saat hati ini selalu jatuh cinta pada Allah. Saat ingatan kita selalu lekat dengan Allah. Saat kening ini selalu sujud khusu’ dalam sholat kita untuk Allah. Dan Allah..bukan hanya ada diatas bukit, di hamparan sawah, ditepi pantai, di pinggiran danau, di udara yang sejuk. Tapi juga ada di gedung – gedung pencakar langit, di kerlap kerlip lampu kota, di cafe – cafe, di dalam mobil mewah, di kemacetan jalan raya, di rumah - rumah kumuh, dimana – mana...
Duhai Allah...temani kami dalam langkah hidup di dunia ini..Amiin.